Wednesday, August 5, 2009

efusi pleura 3

Gambaran Radiologik
Pemeriksaan radiologik mempunyai nilai yang tinggi dalam menegakkan diagnosis efusi pleura, meskipun tidak berguna dalam menentukan faktor penyebabnya(2,3).


( Efusi pleura kiri

Pada foto toraks terlihat perselubungan homogen dengan batas atas yang cekung atau datar, dan sudut kostofrenikus yang tumpul; cairan dengan jumlah yang sedikit hanya akan memberikan gambaran berupa penumpulan sudut kostofrenikus(1,7).
Cairan berjumlah kurang dari 100 ml tidak akan terlihat pada foto toraks yang dibuat dengan teknik biasa. Bayangan homogen baru dapat terlihat jelas apabila cairan efusi lebih dari 300 ml(3). Apabila cairan tidak tampak pada foto postero-anterior (PA), maka dapat dibuat foto pada posisi dekubitus lateral(1,2,3,7).

DIAGNOSA
Diagnosa konvensional efusi pleura selama ini adalah dengan gejala klinik, radiologi dan laboratorium (rivalta, BTA/kultur sputum dan tes mantoux). Kelemahan diagnosa di atas, hasil rivalta positif yang diduga karena penyebab selain infeksi tuberkulosis misalnya; haemoptu, pneumoni, tumor dan infark paru (Light, 1988). Berdaarkan laporan Light (1988) diketahui bahwa hasil kultur pada efusi pleura tuberkulosis kurang dari separuhnya positif, sedang oleh Kamholz (1996) dilaporkan bahwa hasil kultur hanya 30 persen positif. Rendahnya hasil tersebut diduga karena jumlah basil pada cairan pleura kurang dari 10 bak teri/ml bahan (Joklik et al., 1992).

Pemeriksaan M. tuberculosis pada cairan pleura dengan cara pewarnaan dan lkultur belum ada publikasi.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa efusi pleura tuberkulosis adalah diagnosa molekuler atau dikenal dengan polymerase chain reaction (PCR). merupakan proses sintesis enzimatik untuk mengamplifikasi urutan nukleotida secara in vitro (Retnoningrum, 1997) Grody (1994) menyatakan bahwa PCR adalah cara yang sangat ideal untuk mendeteksi patogen, karena PCR sangat cepat dan sensitif. Selain itu dengan pemilihan primer yang spesifik untuk patogen tertentu, tehnik ini mempunyai spesifikasi yang tinggi. Oleh Schluger (1996) dinyatakan tehnik PCR lebih cepat untuk mendeteksi basil tuberkulosis dibandingkan dengan kultur.
Pada prosedur kultur waktu isolasi dan indentifikasi lamanya 4-8 minggu serta jumlah organisme minimal 5.000 - 10.000 per cc.
Pada pemeriksaan fisik, dengan bantuan stetoskop akan terdengar adanya penurunan suara pernafasan. Untuk membantu memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan berikut :
Rontgen dada
Rontgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk mendiagnosis efusi pleura, yang hasilnya menunjukkan adanya cairan dalam rongga pleura.
CT scan dada
CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan cairan dan bisa menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau tumor
USG dada
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan yang jumlahnya sedikit, sehingga bisa dilakukan pengeluaran cairan.
Torakosentesis
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui torakosentesis (pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang dimasukkan diantara sela iga ke dalam rongga dada dibawah pengaruh pembiusan lokal).
Biopsi
Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya, maka dilakukan biopsi, dimana contoh lapisan pleura sebelah luar diambil untuk dianalisa.
Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh, penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan.
Analisa cairan pleura
Bronkoskopi,
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber cairan yang terkumpul.


Aspirasi Cairan Pleura
Selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis, aspirasi juga dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik(2,3). Aspirasi cairan (torakosentesis) dapat dilakukan sebagai berikut : penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau diletakkan di atas bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan pada penderita dalam posisi tidur terlentang. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di daerah sedikit medial dari ujung skapula, atau pada linea aksilaris media di bawah batas suara sonor dan redup. Setelah dilakukan anestesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan jarum berukuran besar, misalnya nomer 18.
Kegagalan aspirasi biasanya disebabkan karena penusukan jarum
terlampau rendah sehingga mengenai diafragma atau terlalu dalam sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum tidak mencapai rongga pleura oleh karena jaringan subkutis atau pleura parietalis tebal(2). Selanjutnya dilakukan pemeriksaan makroskopik dan sitologik pada cairan yang diperoleh(1,6).

Pemeriksaan Cairan Pleura
Cairan efusi pleura pada umumnya merupakan suatu eksudat serta lazim bersifat hemoragik(1,3). Kadar protein pada umumnya tinggi (lebih dari 3 g/dl), demikian juga kadar LDH (di atas 200 UI). Kadar glukosa kurang dari 60 mg/dl, jumlah eosinofil meningkat, jumlah limfosit pada hitung jenis leukosit 50% atau lebih, dan jumlah eritrosit lebih dari 100.000/ ml(2,4).
Pemeriksaan sitologik cairan pleura memiliki arti yang amat penting dalam menegakkan diagnosis efusi pleura. Pada setiap penderita yang dicurigai mengidap efusi pleura, pemeriksaan sitologik cairan pleura merupakan pemeriksaan yang harus dilakukan pertama kali(6). Ketepatan diagnosis pemeriksaan ini mencapai 60% dari semua penderita dan apabila dilakukan tiga kali, angka yang dicapai sekitar 80-90%(4,6).

Kriteria diagnosa klinik efusi pleura karena Mycobacterium tube

efusi pleura 2

ETIOLOGI
Dalam keadaan normal, cairan pleura dibentuk dalam jumlah kecil untuk melumasi permukaan pleura (pleura adalah selaput tipis yang melapisi rongga dada dan membungkus paru-paru). Bisa terjadi 2 jenis efusi yang berbeda, yaitu :
1. Efusi pleura transudativa, biasanya disebabkan oleh suatu kelainan pada tekanan normal di dalam paru-paru. Jenis efusi transudativa yang paling sering ditemukan adalah gagal jantung kongestif.
2. Efusi pleura eksudativa terjadi akibat peradangan pada pleura, yang seringkali disebabkan oleh penyakit paru-paru. Kanker, tuberkulosis dan infeksi paru lainnya, reaksi obat, asbetosis dan sarkoidosis merupakan beberapa contoh penyakit yang bisa menyebabkan efusi pleura eksudativa.

Di Indonesia penyebab utama efusi pleura yang terbanyak adalah tuberkulosis dan kemudian disusul oleh keganasan (Amin,dkk.1989). Di NTB prevalensi kasus tuberkulosis paru adalah 4070 kasus atau 110 per 100.000 penduduk (Gerudug, 1999).
Dari hasil pencatatan di Rumah Sakit Umum Mataram selama kurun waktu 6 bulan (Oktober 1999 sampai Maret 2000), dilaporkan pasien poli paru yang datang 513 kasus (tuberkulosis, haemoptu dan pneumonia). Penderita dengan efusi pleura hanya 9 kasus (1,7%).

Penyebab lain dari efusi pleura adalah :
Gagal jantung
Kadar protein darah yang rendah
Sirosis
Pneumonia
Blastomikosis
Koksidioidomikosis
Tuberkulosis
Histoplasmosis
Kriptokokosis
Abses dibawah diafragma
Artritis rematoid
Pankreatitis
Emboli paru
Tumor
Lupus eritematosus sistemik
Pembedahan jantung
Cedera di dada
Obat-obatan (hidralazin, prokainamid, isoniazid, fenitoin, klorpromazin, nitrofurantoin, bromokriptin, dantrolen, prokarbazin)
Pemasanan selang untuk makanan atau selang intravena yang kurang baik.

Patogenesis
Cairan pelicin yang terdapat di dalam rongga pleura individu normal dihasilkan oleh suatu anyaman pembuluh kapiler permukaan pleura parietalis dan diabsorpsi oleh kapiler dan pembuluh getah bening pleura viseralis dengan kecepatan yang seimbang dengan kecepatan pembentukannya. Oleh karena itu, gangguan apapun yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya kecepatan proses pembentukan cairan ini akan menimbulkan penimbunan cairan secara patologik di dalam rongga pleura(3,7).
Beberapa faktor yang berperanan dalam patogenesis efusi pleura keganasan adalah(4) :
1. infiltrasi sel-sel secara langsung pada pleura,
2. penyumbatan pembuluh getah bening atau vena,
3. penyumbatan bronkus disertai dengan atelektasis,
4. pneumonia pasca-obstruksi yang disertai dengan efusi parapneumonik,dan
5. hipoproteinemia yang berat.

Di samping itu, cairan asites keganasan juga dapat mengalir secara langsung ke dalam rongga pleura melalui pembuluh getah bening atau suatu lubang makroskopik pada diafragma(3,6).

Patofisiolgi
Efusi pleura adalah suatu indikator proses patologi yang mungkin berhubungan dengan paru-paru atau dari sistem organ/ bagian tubuh yang lain atau penyakit sistemik. Mungkin terjadi pengaturan penyakit kronis atau akut.
Cairan pleura normal mempunyai karakteristik sebagai berikut: ultrafiltrasi plasma, pH 7.60-7.64, kandungan protein kurang dari 2% ( 1-2 g/dL), lebih sedikit dibanding 1000 milimeter WBCS berbentuk kubus, glukosa yang jumlahnya sama dengan plasma, laktat dehydrogenase ( LDH) kurang dari 50% plasma dan sodium, konsentrasi kalium dan zat kapur serupa dengan cairan interstitial.
Fungsi cairan pleura prinsipnya adalah untuk menyediakan suatu permukaan bebas terhadap gesekan kedua pleura sebagai jawaban atas perubahan volume paru-paru dan pernapasan. Mekanisme yang berikut berperanan dalam pembentukan efusi pleura :
Permiabilitas yang diubah oleh selaput pleural ( misalnya, proses inflamasi, penyakit neoplastik, pulmonary embolus)
Pengurangan dalam tekanan onkotik intravascular ( misalnya, hypoalbuminemia, sirosis hepatik)
Peningkatan permiabilitas kapiler atau gangguan vaskuler ( misalnya, trauma, penyakit neoplastik, infeksi, infark paru, hipersensitif terhadap obat, uremia, pancreatitis)
Tekanan hidrostatik kapiler yang meningkat dalam peredaran paru-paru dan/atau yang systemic ( Congestive Kegagalan [hati/jantung], sindroma vena cava superior
Tekanan hidrostatik kapiler meningkat pada sistemik dan sirkulasi paru-paru.
Berkurangnya tekanan pada ruang pleura misalnya pada atelektasis ekstensif, mesothelioma
Cairan yang meningkat dalam rongga peritoneal, bermetastase ke sembarang rongga yang mengandung getah bening misalnya, sirosis hepatis, dialisis peritoneal.
Pergerakan cairan dari udem paru berhubungan dengan pleura visceral
Penyebab iatrogenik seperti central line misplacement.

Manifestasi Klinis
Pada anamnesis lazim ditemukan keluhan nyeri dada dan sesak (tanpa menghiraukan jenis cairan yang terkumpul ataupun penyebabnya). Rasa nyeri membuat penderita membatasi pergerakan rongga dada dengan bernafas dangkal atau tidur miring ke sisi yang sakit. Sesak nafas dapat ringan atau berat, tergantung pada proses pembentukan efusi, jumlah cairan efusi pleura, dan kelainan yang mendasari timbulnya efusi.
Gejala lainnya yang mungkin ditemukan :
batuk
cegukan
pernafasan yang cepat
nyeri perut.

Gambaran Radiologik
Pemeriksaan radiologik mempunyai nilai yang tinggi dalam menegakkan diagnosis efusi pleura, meskipun tidak berguna dalam menentukan faktor penyebabnya(2,3).

efusi pleura

EFUSI PLEURA
Efusi pleura bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit(1,2). Pada keadaan normal, rongga pleura hanya mengandung sedikit cairan sebanyak 10-20 ml yang membentuk lapisan tipis pada pleura parietalis dan viseralis, dengan fungsi utama sebagai pelicin gesekan antara permukaan kedua pleura pada waktu pernafasan(3.4).
Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan efusi pleura adalah tuberkulosis, infeksi paru non-tuberkulosis, keganasan, sirosis hati, trauma tembus atau tumpul pada daerah Ada, infark paru, serta gagal jantung kongestif(2,3,5). Di negana-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di negara-negana yang sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis(2,4). Efusi pleura keganasan merupakan salah satu komplikasi yang biasa ditemukan pada penderita keganasan dan terutama disebabkan oleh kanker paru dan kanker payudara(1). Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada sekitar 50-60% penderita keganasan pleura primer atau metastatik( 6). Sementana 5% kasus mesotelioma (keganasan pleura primer) dapat disertai efusi pleura dan sekitar 50% penderita kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi pleura(4).

DEFINISI
Efusi Pleura adalah pengumpulan cairan di dalam rongga pleura akibat transudasi dan eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi paru-paru dan rongga dada. Dalam keadaan normal, hanya ditemukan selapis cairan tipis yang memisahkan kedua lapisan pleura. Jenis cairan lainnya yang bisa terkumpul di dalam rongga pleura adalah darah, nanah, cairan seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi.

Hemotoraks (darah di dalam rongga pleura), biasanya terjadi karena cedera di dada. Penyebab lainnya adalah :
Pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura
Kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta) yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura
Gangguan pembekuan darah. Darah di dalam rongga pleura tidak membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah dikeluarkan melelui sebuah jarum atau selang.

Empiema (nanah di dalam rongga pleura), bisa terjadi jika pneumonia atau abses paru menyebar ke dalam rongga pleura. Empiema bisa merupakan komplikasi dari :
Pneumonia
Infeksi pada cedera di dada
Pembedahan dada
Pecahnya kerongkongan
Abses di perut.

Kilotoraks (cairan seperti susu di dalam rongga dada), disebabkan oleh suatu cedera pada saluran getah bening utama di dada (duktus torakikus) atau oleh penyumbatan saluran karena adanya tumor.
Rongga pleura yang terisi cairan dengan kadar kolesterol yang tinggi terjadi karena efusi pleura menahun yang disebabkan oleh tuberkulosis atau artritis rematoid.

Anatomi
Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh otot dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat.
Paru-paru ada dua bagian yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri (pulmo sinister) yang terdiri atas 2 lobus. Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian dalam yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (pleura visceralis) dan selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura parietalis).
Antara selaput luar dan selaput dalam terdapat rongga berisi cairan pleura yang berfungsi sebagai pelumas paru-paru. Cairan pleura berasal dari plasma darah yang masuk secara eksudasi. Dinding rongga pleura bersifat permeabel terhadap air dan zat-zat lain. Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan elastik, dan pembuluh darah.
Paru-paru berstruktur seperti spon yang elastis dengan daerah permukaan dalam yang sangat lebar untuk pertukaran gas. Di dalam paru-paru, bronkiolus bercabang-cabang halus dengan diameter ± 1 mm, dindingnya makin menipis jika dibanding dengan bronkus.

Bronkiolus tidak mempunyi tulang rawan, tetapi rongganya masih mempunyai silia dan di bagian ujung mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Pada bagian distal kemungkinan tidak bersilia. Bronkiolus berakhir pada gugus kantung udara (alveolus). Alveolus terdapat pada ujung akhir bronkiolus berupa kantong kecil yang salah satu sisinya terbuka sehingga menyerupai busa atau mirip sarang tawon.
Oleh karena alveolus berselaput tipis dan di situ banyak bermuara kapiler darah maka memungkinkan terjadinya difusi gas pernapasan.

ETIOLOGI
Dalam keadaan normal, cairan pleura dibentuk dalam jumlah kecil untuk melumasi permukaan pleura (pleura adalah selaput tipis yang melapisi rongga dada dan membungkus paru-paru). Bisa terjadi 2 jenis efusi yang berbeda, yaitu :
1. Efusi pleura transudativa, biasanya disebabkan oleh suatu kelainan pada tekanan normal di dalam paru-paru. Jenis efusi transudativa yang paling sering ditemukan adalah gagal jantung kongestif.
2. Efusi pleura eksudativa terjadi akibat peradangan pada pleura, yang seringkali disebabkan oleh penyakit paru-paru. Kanker, tuberkulosis dan infeksi paru lainnya, reaksi obat, asbetosis dan sarkoidosis merupakan beberapa contoh penyakit yang bisa menyebabkan efusi pleura eksudativa.

Di Indonesia penyebab utama efusi pleura yang terbanyak adalah tuberkulosis dan kemudian disusul oleh keganasan (Amin,dkk.1989). Di NTB prevalensi kasus tuberkulosis paru

efusi pleura

EFUSI PLEURA
Efusi pleura bukan merupakan suatu penyakit, akan tetapi merupakan tanda suatu penyakit(1,2). Pada keadaan normal, rongga pleura hanya mengandung sedikit cairan sebanyak 10-20 ml yang membentuk lapisan tipis pada pleura parietalis dan viseralis, dengan fungsi utama sebagai pelicin gesekan antara permukaan kedua pleura pada waktu pernafasan(3.4).
Penyakit-penyakit yang dapat menimbulkan efusi pleura adalah tuberkulosis, infeksi paru non-tuberkulosis, keganasan, sirosis hati, trauma tembus atau tumpul pada daerah Ada, infark paru, serta gagal jantung kongestif(2,3,5). Di negana-negara barat, efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, sirosis hati, keganasan, dan pneumonia bakteri, sementara di negara-negana yang sedang berkembang, seperti Indonesia, lazim diakibatkan oleh infeksi tuberkulosis(2,4). Efusi pleura keganasan merupakan salah satu komplikasi yang biasa ditemukan pada penderita keganasan dan terutama disebabkan oleh kanker paru dan kanker payudara(1). Efusi pleura merupakan manifestasi klinik yang dapat dijumpai pada sekitar 50-60% penderita keganasan pleura primer atau metastatik( 6). Sementana 5% kasus mesotelioma (keganasan pleura primer) dapat disertai efusi pleura dan sekitar 50% penderita kanker payudara akhirnya akan mengalami efusi pleura(4).

DEFINISI
Efusi Pleura adalah pengumpulan cairan di dalam rongga pleura akibat transudasi dan eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura. Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi paru-paru dan rongga dada. Dalam keadaan normal, hanya ditemukan selapis cairan tipis yang memisahkan kedua lapisan pleura. Jenis cairan lainnya yang bisa terkumpul di dalam rongga pleura adalah darah, nanah, cairan seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi.

Hemotoraks (darah di dalam rongga pleura), biasanya terjadi karena cedera di dada. Penyebab lainnya adalah :
Pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura
Kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta) yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura
Gangguan pembekuan darah. Darah di dalam rongga pleura tidak membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah dikeluarkan melelui sebuah jarum atau selang.

Empiema (nanah di dalam rongga pleura), bisa terjadi jika pneumonia atau abses paru menyebar ke dalam rongga pleura. Empiema bisa merupakan komplikasi dari :
Pneumonia
Infeksi pada cedera di dada
Pembedahan dada
Pecahnya kerongkongan
Abses di perut.

Kilotoraks (cairan seperti susu di dalam rongga dada), disebabkan oleh suatu cedera pada saluran getah bening utama di dada (duktus torakikus) atau oleh penyumbatan saluran karena adanya tumor.
Rongga pleura yang terisi cairan dengan kadar kolesterol yang tinggi terjadi karena efusi pleura menahun yang disebabkan oleh tuberkulosis atau artritis rematoid.

Anatomi
Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh otot dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat.
Paru-paru ada dua bagian yaitu paru-paru kanan (pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus dan paru-paru kiri (pulmo sinister) yang terdiri atas 2 lobus. Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian dalam yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (pleura visceralis) dan selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk disebut pleura luar (pleura parietalis).
Antara selaput luar dan selaput dalam terdapat rongga berisi cairan pleura yang berfungsi sebagai pelumas paru-paru. Cairan pleura berasal dari plasma darah yang masuk secara eksudasi. Dinding rongga pleura bersifat permeabel terhadap air dan zat-zat lain. Paru-paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan elastik, dan pembuluh darah.
Paru-paru berstruktur seperti spon yang elastis dengan daerah permukaan dalam yang sangat lebar untuk pertukaran gas. Di dalam paru-paru, bronkiolus bercabang-cabang halus dengan diameter ± 1 mm, dindingnya makin menipis jika dibanding dengan bronkus.

Bronkiolus tidak mempunyi tulang rawan, tetapi rongganya masih mempunyai silia dan di bagian ujung mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Pada bagian distal kemungkinan tidak bersilia. Bronkiolus berakhir pada gugus kantung udara (alveolus). Alveolus terdapat pada ujung akhir bronkiolus berupa kantong kecil yang salah satu sisinya terbuka sehingga menyerupai busa atau mirip sarang tawon.
Oleh karena alveolus berselaput tipis dan di situ banyak bermuara kapiler darah maka memungkinkan terjadinya difusi gas pernapasan.

ETIOLOGI
Dalam keadaan normal, cairan pleura dibentuk dalam jumlah kecil untuk melumasi permukaan pleura (pleura adalah selaput tipis yang melapisi rongga dada dan membungkus paru-paru). Bisa terjadi 2 jenis efusi yang berbeda, yaitu :
1. Efusi pleura transudativa, biasanya disebabkan oleh suatu kelainan pada tekanan normal di dalam paru-paru. Jenis efusi transudativa yang paling sering ditemukan adalah gagal jantung kongestif.
2. Efusi pleura eksudativa terjadi akibat peradangan pada pleura, yang seringkali disebabkan oleh penyakit paru-paru. Kanker, tuberkulosis dan infeksi paru lainnya, reaksi obat, asbetosis dan sarkoidosis merupakan beberapa contoh penyakit yang bisa menyebabkan efusi pleura eksudativa.

Di Indonesia penyebab utama efusi pleura yang terbanyak adalah tuberkulosis dan kemudian disusul oleh keganasan (Amin,dkk.1989). Di NTB prevalensi kasus tuberkulosis paru

medikamentosa pengobatan liver abses

MEDIKAMENTOSA
Secara singkat pengobatan amebiasis hati sebagai berikut :
1. metronidazole : 3 X 750mg selama 5-10 hari dan ditambah dengan;
2. kloroquin fosfat : 1 gr/hari selama 2 hari dan diikut 500mg/hari selama 20 hari, ditambah;
3. dehydroemetine : 1-1,5mg/kgBB/hari intramuskular (maksimum 99mh/hari) selama 10 hari.
Pada abses yang kecil atau tidak toksis tidak perlu dilakukan aspirasi, kecuali untuk diagnostik. Aspirasi hanya dilakukan pada ancaman ruptur atau gagal pengobatan konservatif. Sebaiknya aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.(1)
Indikasi aspirasi jarum perkutan adalah abses besar dengan ancaman ruptur, atau diameter abses lebih dari 7cm atau 10cm. Selain ukuran absesnya indikasi lainnya adalah jika respons kemoterapi juga kurang, atau mungkin liver abses disertai infeksi lainnya. Selain hal-hal tersebut indikasi aspirasi jarum lainnya adalah letak abses yang dekat permukaan kulit, tidak ada tanda perforasi dan abses pada lobus kiri hati.(1,3)
Selain aspirasi jarum dapat juga dilakukan drainase. Tindakan ini jarang dilakukan kecuali pada kasus tertentu seperti abses dengan ancaman ruptur atau secara teknis susah dicapai atau gagal dengan aspirasi biasa. Jika terjadi piotorak, efusi pleura dengan fistula bronkopleura perlu dilakukan tindakan water sealed drainage.

PROGNOSIS
Sejak digunakan pemberian obat seperti dehydroemetine/emetine, metronidazole, dan kloroquin, mortalitas menurun secara tajam. Mortalitas di RS dengan fasilitas yang memadai sekitar 2% dan fasilitas yang kurang sekitar 10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi mortalitas sekitar 12%, jika ada peritonitis amebik, mortalitas dapat mencapai 40 - 50%. Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum yang jelek, malnutrisi, ikterus atau renjatan. Sebab kematian biasanya karena sepsis atau sindrom hepatorenal.(1)




















DAFTAR PUSTAKA

1. Julius, abses hati dalam buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid 1, edisi ke-3, FKUI, Jakarta 1996.
2. Ruben Peralta, MD, FACS - liver abscess available at http//www.emedicine.com
3. Ahmad M, Khan AH, Mubarik A. Fatal amoebic liver abscess: an autopsy study. Journal of Gastroenterology and Hepatology 1991.
4. Marpaung, Boloni.Prof.dr - abses hati dalam buku ilmu penyakit hati, pankreas, kandung empedu dan peritoneum bagian imu penyakit dalam FK-USU 1976.

liver abses (lanjutan)

Jika disertai pielflebitis, vena porta dan cabangnya dapat mengandung pus dan bekuan darah dan bila penyebaran melalui duktus biliaris akan terdapat beberapa fokus yang berhubungan dengan sistem bilier.
Secara histologis didapatkan nekrosis sentral, dikeliligi infiltrasi leukosit dan limfosit yang masif dan sebelah luarnya terdapat proliferasi fibroplastik yang membentuk dinding jaringan ikat.
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis abses hati dapat berupa demam, baik bersifat intermiten ataupun remiten yang kadang bisa disertai menggigil. Hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan dijumpai juga pada abses hati. Mual/muntah, lesu, berat badan menurun merupakan gejala simptomatis dari abses hati ini, dapat juga disertai dengan batuk, sesak nafas serta nyeri pleura.(1) Keragaman dari liver abses menyebabkan kadang-kadang gejalanya tidak khas dan timbul pelan-pelan atau asimptomatis.

Pada pemeriksaan fisis didapatkan keadaan pasien yang septik disertai nyeri perut kanan atas dan hepatomegali yang nyeri tekan. Kadang-kadang disertai ikterus karena adanya penyakit bilier seperti kolangitis. Gejala klinis yang sering didapatkan pada liver abses pada penelitian di Indonesia bisa dilihat dari tabel berikut(4).
Liver abses menurut kriteria Ramachandram adalah sebagai berikut :
1. hepatomegali, nyeri tekan (+)
2. riwayat disentri
3. leukositosis dan demam
4. foto thoraks : Dome Diafragma
fluoroskopi gerakan diafragma terbatas
reaksi pleura (+)
pneumonitis, konsolidasi, abses
5. respon terhadap metronidazole : 3 X 750mg (3-7 hari)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM dan PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Kelainan pemeriksaan hematologi pada liver abses didapatkan hemoglobin antara 10,4 - 11,3%, sedangkan leukosit berkisar antara 15000 - 16000 /ml3.
Pada pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76 - 3,05 gr%, globulin 3,62 - 3,75 gr%, total bilirubin 0,9 - 2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4 - 382,0 u/l sedangkan SGOT 27,8 - 55,9 u/l dan SGPT 15,7 - 63,0 u/l.
Jadi kelainan laboratorium yang dapat ditemukan pada liver abses adalah anemia ringan sampai sedang, leukositosis berkisar 15000/ml3. sedangkan kelainan faal hati didapatkan ringan sampai sedang.(1)
Foto Thorax
Kelainan foto thorax pada liver abses dapat berupa peninggian kubah diafragma kanan, berkurangnya gerak diafragma, efusi pleura, kolaps paru dan abses paru.
Foto Polos Abdomen
Kelainan pada foto polos abdomen tidak begitu banyak, hanya mungkin dapat berupa gambaran ileus, hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati jarang didapatkan berupa air fluid level yang jelas.
Ultrasonographi
Untuk mendeteksi liver abses USG dapat mendeteksi kelainannya sampai sebesar 2 cm disamping sekaligus dapat melihat kelainan tractus bilier dan diafragma. Keterbatasan USG terutama jika kelainan pada daerah tertentu, pasien gemuk atau kurang kooperatif.
Liver abses stadium dini kelihatan seperti suatu massa dan jika terjadi pencairan bagian tengah, terlihat sebagai kista.(1,2,3,4) Gambaran ultrasonografi pada liver abses adalah sebagai berikut :
bentuk bulat atau oval.
Tidak ada gema dinding yang berarti.
Ekogenesitas lebih rendah dari parenkim hati normal.
Bersentuhan dengan kapsul hati.
Peninggian shock distal.

Pemeriksaan Serologi
Uji serologis bermanfaat pada kasus yang dicurigai sebagai amebiasis hati dan uji ini umumnya negatif pada yang asimptomatik. Respons antibodi bergantung kepada lamanya sakit dan negatif pada minggu pertama. Titer antibodi dapat bertahan berbulan-bulan sampai tahunan pada pasien di daerah endemik. Jadi tidak begitu spesifik untuk daerah endemik, tetapi sangat spesifik untuk daerah bukan endemik.
Ada beberapa uji yang banyak digunakan antara lain indirect haemaglutintion (IHA), counter immunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA. Yang banyak digunakan adalah test IHA. Test IHA menunjukkan sensitivitas yang tinggi. Titer 1:128 bermakna untuk diagnosis amebiasis invasif(1,3).

DIAGNOSIS
Diagnosis liver abses di daerah endemik dapat dipertimbangkan jika terdapat demam, nyeri perut kanan atas dan hepatomegali yang nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan leukositosis, fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi dan perlu dipastikan dengan pemeriksaan ultrasonografi serta dapat dibantu dengan tes serologi. Selain kriteria Ramachandram ada beberapa kriteria lainnya untuk menegakkan liver abses, seperti kriteria Sherlock (1969) dan kriteria Lamont dan Pooler.

Kriteria Sherlock (1969) :
Hepatomegali yang nyeri tekan.
Respons baik terhadap obat amebisid.
Leukositosis
Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
Aspirasi pus
Pada USG didapatkan rongga dalam hati.
Tes hemaglutinasi positif

Kriteria Lamont dan Pooler :
Bila didapatka 3 atau lebih dari :
Hepatomegali yang nyeri.
Kelainan hematologis
Kelainan radiologis
Pus amebik
Tes serologik positif
Kelainan sidikan hati
Respons yang baik dengan terapi amebesid.

KOMPLIKASI
1. Sepsis.
2. Ruptur abses sebesar 5 -15 %
3. Ruptur terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit.
4. Endopthalmitis jika abses disebabkan oleh klebsiella pneumonia(2)

MEDIKAMENTOSA
Secara singkat pengobatan amebiasis hati sebagai berikut :
1. metronidazole : 3 X 750mg selama 5-10 hari dan ditambah dengan;
2. kloroquin fosfat : 1 gr/hari selama 2 hari dan diikut 500mg/hari selama 20 hari, ditambah;
3. dehydroemetine : 1-1,5mg/kgBB/hari intramuskular (maksimum 99mh/hari) selama 10 hari.
Pada abses yang kecil atau tidak toksis tidak perlu dilakukan aspirasi, kecuali untuk diagnostik.

liver abses

LIVER ABSES

PENDAHULUAN
Liver abses masih merupakan masalah kesehatan dan sosial pada beberapa negara berkembang. Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus liver abses di daerah perkotaan. Di negara yang sedang berkembang abses hati amebik lebih sering didapatkan secara endemik dibanding dengan abeses hati piogenik. Penyebab infeksi dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, parasit ataupun jamur.(1,3)
Dalam beberapa dekade terakhir ini telah banyak perubahan mengenai aspek epidemiologi, etiologi, bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai pengelolaan serta prognosisnya.

PREVALENSI
Prevalensi abses piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal setelah autopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT scan dan MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi autopsi berkisar antara 0,29-1,47%, sedangkan di rumah sakit didapatkan antara 0,008-0,016%.(1,3)
Sedangkan pada negara maju seperti Amerika prevalensinya sangat berbeda dibanding dengan negara-negara berkembang. Menurut penyebabnya liver abses pada negara maju dapat dirata-ratakan sebagai berikut :
1. abses hati pyogenic, disebabkan oleh lebih dari satu mikrobakteri, 80 % pada negara maju.
2. amebiasis hati, penyebab utamanya entamoeba hystolitica, 10% dari seluruh kasus liver abses.
3. fungal abses, paling sering disebabkan oleh spesies candida, kurang dari 10% kasus liver abses.
Perbandingan jumlah penderita liver abses menurut jenis kelamin adalah pria lebih banyak yang terinfeksi dibandingkan wanita dan menurut prevalensi jumlah penderita paling banyak pada usia dekade keempat sampai kelima.(2)
ETIOLOGI dan PATOGENESIS
Abses hati piogenik dapat terjadi melalui infeksi yang berasal dari (1) :
1. vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal, bisa menyebabkan pielflebitis porta atau emboli septik.
2. saluran empedu merupakan sumber infeksi yang tersering. Kolangitis septik dapat menyebabkan penyumbatan saluran empedu seperti juga batu empedu, kanker, striktura saluran empedu ataupun anomali saluran empedu kongenital.
3. infeksi langsung seperti luka penetrasi, fokus septik berdekatan seperti abses perinefrik, kecelakaan lau lintas.
4. septisemia atau bakterimia akibat infeksi di tempat lain.
5. kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada organ lanjut usia.
Pada amebiasis hati penyebab utamanya adalah entamoeba hystolitica. Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi E.hystolitica yang memberi gejala amebiasis invasif, sehingga ada dugaan ada 2 jenis E.hystolitica yaitu strain patogen dan non patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain E.hystolitica ini berbeda berdasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hati.(1,3,4)
Patogenesis amebiasis hati belum dapat diketahi secara pasti. Ada beberapa mekanisme yang telah dikemukakan antara lain : faktor virulensi parasit yang menghasilkan toksin, ketidakseimbangan nutrisi, faktor resistensi parasit, imunodepresi pejamu, berubah-ubahnya antigen permukaan dan penurunan imunitas cell-mediated(1)
Secara singkat dapat dikemukakan 2 mekanisme :
1. strain E.hystolitica ada yang patogen dan non patogen.
2. secara genetik E.hystolitica dapat menyebabkan invasi tetapi tergantung pada interaksi yang kompleks antara parasit dengan lingkungan saluran cerna terutama pada flora bakteri.
Mekanisme terjadinya amebiasis hati :
1. penempelan E.hystolitica pada mukus usus.
2. pengerusakan sawar intestinal.
3. lisis sel epitel intestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respons imun cell-mediated yand disebabkan enzim atau toksin parasit, juga dapat karena penyakit tuberkulosis, malnutrisi, keganasan dll.
4. penyebaran ameba ke hati. Penyebaran ameba dari usus ke hati sebagian besar melalui vena porta. Terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu dan granuloma diganti dengan jaringan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Amebiasis hati ini dapat terjadi berbulan atau tahun setelah terjadinya amebiasis intestinal dan sekitar 50% amebiasis hati terjadi tanpa didahului riwayat disentri amebiasis.

PATOLOGI (1)
Amebiasis Hati
Besarnya abses amebiasis hati bervariasi dari yang kecil sampai besar (5 liter) yang isinya berupa bahan nekrotik seperti keju berwarna merah kecoklatan, kehijauan, kekuningan atau keabuan. Jumlah abses dapat tunggal atau multipel, tetapi pada umumnya tunggal ( abses tunggal 85%, 2 abses 6% dan multipel 8%). Letak abses pada umumnya di lobus kanan. Di Indonesia didapatkan abses lobus kanan 87-87,5%, lobus kiri 6,2-6,7% sedangkan pada lobus kanan dan kiri 4,3-6,2%.
Secara mikroskopik di bagian tengah didapatkan bahan nekrotik dan fibrinous, sedangkan di perifer tampak bentuk ameboid dengan sitoplasma bergranul serta inti yang kecil. Jaringan sekitarnya edematus dengan infiltrasi limfosit dan proliferasi ringan sel Kupffer, tidak didapatkan sel polimorto-nuklear. Lesi amebiasis hati tidak disertai pembentukan jaringan parut karena tidak terbentuknya jaringan fibrosis.
Abses Hati Piogenik
Abses hati piogenik dapat mengenai kedua lobus hati pada 53,2% dan lobus kanan saja 41,8%, sedang lobus kiri saja hanya 4,8% dan umumnya multipel. Selain pembentukan abses dapat terjadi peradangan perihepatitis ataupun perlengketan. bersambung..